Diduga Rugikan Pengadaan Alkes, Direktur RSUD Srengat Dipanggil DPRD

BLITAR | optimistv.co.id Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar, seusai melakukan sidak ke RSUD Srengat, pada Kamis (3/6) kemarin, akhirnya memanggil jajaran direksi rumah sakit untuk dimintai keterangan terkait adanya dugaan kerugian negara dari pengadaan Alkes (alat kesehatan).

Kepada wakil rakyat, Direktur RSUD Srengat, dr Pantjarara Budiresmi bersama staf memaparkan, bahwa untuk pembelian PCR Cobas Z 480 merk Roche senilai Rp. 2,3 miliar itu dilaksanakan secara penunjukan langsung (PL).

“Adapun perlengkapanya meliputi mesin preparasi, mesin ekstrasi, mesin PCR, printer, dan almari penyimpanan,” terang dr Pantjarara, Jum’at (4/6/2021) sore, di kantor DPRD, Jalan Banjarjo, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.

Menjawab pertanyaan dari Ketua Komisi IV, Sugeng Suroso terkait mengapa memilih merk tersebut, kalau akhirnya sekarang tidak bisa digunakan, Pantjarara mengaku alasannya memilih merk Roche tersebut dikarenakan harganya lebih murah dan secara kualitas bagus.

Pihaknya mengaku sebelum melakukan pembelian barang itu, juga sudah melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, Inspektorat dan BPKAD.

Baca Juga:  Antisipasi PMK, Hewan Ternak di Sidorejo Divaksin

“Supaya pembeliannya tidak menyalahi aturan, karena menggunakan anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT), serta karena kondisi darurat dan mendesak untuk memenuhi kebutuhan Test Swab PCR,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Komisi IV, Medi Wibawa menanyakan mengapa pembelian reagen yang sudah teranggarkan senilai Rp.1,5 miliar itu tidak sebanding dengan perolehannya.

“Kalau satu kali Test Swab biaya reagennya Rp. 300 ribu, besarnya anggaran dapat melayani permintaan Test Swab sebanyak 5.000 kali tes dan masih dipergunakan sebanyak 3.950 kali tes,” tanyanya.

Panjtarara menjelaskan, hal itu masih dalam rencana. Dan rencana pembeliannya dibuat bertahap. “Tahap awal 1.500, sisanya yang 3.500 melihat kondisi perkembangan Covid-19 di Kabupaten Blitar,” jelasnya.

Dokter Spesialis Patologi ini juga menuturkan, bahwa mesin PCR yang dibeli tidak hanya untuk penanganan Covid-19 saja, tetapi juga bisa dipergunakan untuk mendeteksi berbagai virus, seperti HIV dan Hepatitis.

Pihaknya juga menjelaskan bahwa terkait dengan pembelian alat kesehatan tersebut tidak ada masalah dan sudah sesuai dengan aturan. Bahkan dari pagu anggaran Rp 2,7 miliar, hanya digunakan Rp 2,3 miliar.

Baca Juga:  Tingkatkan Kompetensi KIM, Diskominfo Kota Kediri Gelar Workshop

“Itu pun sudah lengkap, termasuk peralatan penunjang lainnya. Dan karena pembelian tersebut dilaksanakan pada akhir tahun 2020, maka sudah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan,” jelasnya.

Sedangkan terkait reagen, menurutnya juga tidak harus merk yang sama dengan mesinnya, dan bisa open channel atau menggunakan merk lain. Hal itu juga dari hasil pertemuanya dengan pihak penyedia barang.

“Saat ini masih memakai reagen merk yang sama dengan mesin yang sama. Agar garansi tidak hangus, selanjutnya akan diinstal aplikasi berbeda agar bisa open channel untuk tahap berikutnya,” terangnya.

Seperti diketahui, Pemerhati Indonesia Corruption Watch (ICW) Blitar, Trianto, menduga telah terjadi penyelewengan atas pembelian polymerase chain reaction (PCR) untuk tes swab virus corona diseases 2019 (Covid-19) senilai Rp. 2,7 miliar lebih di RSUD Srengat Blitar, sehingga pihaknya meminta agar aparat penegak hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat.

Baca Juga:  Pelaporan Pansus LKPJ Bupati 2020 Dalam Paripurna DPRD

Begitu pula dengan Ketua LSM Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) Blitar, Jaka Prasetya mengatakan, kalau memang pembelian mesin PCR itu ada kejanggalan, maka harus dicari siapa yang paling bertanggungjawab.

“Karena pengadaan barang pasti melalui proses, mulai panitia sampai penerima barang. Dasar menentukan barang merk apa yang dibeli, semua harus diungkap jelas dan transparan,” tuturnya yang dikutip dari lenteratoday (31/5).

Jaka menambahkan, jika memang mesin PCR tersebut saat ini tidak bisa difungsikan dengan maksimal, maka ada dua hal yang harus disoroti, yaitu masalah inefisiensi anggaran atau pemborosan anggaran, serta dugaan mark up.

Jaka juga menyayangkan pembelian mesin PCR yang informasinya paling bagus, canggih dan mahal tersebut seharusnya bisa melayani masyarakat Blitar yang selama ini berobat ke Tulungagung dan Kediri.

Reporter : Muklas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *