PEMATANGSIANTAR, mediabrantas.id – Polemik kembali beroperasinya Tempat Hiburan Malam (THM) Studio 21 menuai sorotan tajam dari masyarakat. Pasalnya, beberapa bulan lalu tempat hiburan tersebut baru saja dipasang garis polisi (police line) oleh pihak berwajib setelah terbukti menjadi lokasi peredaran narkotika jenis ekstasi.
Namun, pantauan di lapangan menunjukkan, Studio 21 kini mulai dibuka kembali dan melakukan aktivitas renovasi serta persiapan operasional. Kondisi ini dinilai mencederai upaya penegakan hukum dan melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum di wilayah Polda Sumatera Utara.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Masyarakat Peduli Indonesia Baru (DPP KOMPI B), Henderson Silalahi, menyampaikan keprihatinan mendalam dan desakan keras kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk turun langsung mengusut kasus ini.
“Kami minta Kapolri menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam pembiaran ini. Jika Studio 21 kembali beroperasi, maka besar kemungkinan tempat itu akan kembali menjadi sarang peredaran narkotika. Ini jelas mencoreng wibawa hukum di Sumatera Utara,” tegas Henderson Silalahi.
Menurutnya, beberapa pelaku yang sebelumnya terjaring operasi narkotika di lokasi tersebut hingga kini masih mendekam di tahanan, namun Amut, selaku pemilik gedung dan penyedia tempat, belum pernah tersentuh proses hukum. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar tentang keberpihakan penegakan hukum dan potensi adanya tebang pilih dalam penindakan kasus narkoba.
“Selain dugaan pelanggaran pidana terkait narkotika, Studio 21 juga diduga kuat melanggar aturan tata ruang dan lingkungan hidup. Pembangunan gedung disebut melanggar garis sempadan sungai, yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan bebas dari aktivitas bangunan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan kegiatan manusia yang tidak boleh dibangun permanen,” ujarnya.
Dari sisi hukum pidana, lanjut dia, pembiaran beroperasinya kembali tempat yang pernah menjadi lokasi peredaran narkoba berpotensi melanggar Pasal 131 dan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu Pasal 131: “Setiap orang yang mengetahui adanya tindak pidana narkotika tetapi tidak melaporkannya kepada pihak berwenang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp50 juta.”
“Pasal 132 ayat (1) disebutkan, Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana tersebut,” terangnya.
Henderson juga menambahkan, bahwa pembiaran terhadap pelanggaran hukum semacam ini dapat menjadi preseden buruk, terutama dalam upaya pemberantasan narkoba dan penegakan tata kelola ruang kota yang bersih dan tertib hukum.
“Kami berharap pihak Polda Sumut dan Pemerintah Kota segera menindaklanjuti perizinan dan legalitas bangunan Studio 21 yang diduga melanggar sempadan sungai. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tambahnya.
Menurutnya, publik kini menanti langkah konkret dari aparat penegak hukum, terutama Polda Sumatera Utara dan Mabes Polri, dalam menindaklanjuti kasus Studio 21 yang dinilai telah mengabaikan proses hukum dan menodai semangat pemberantasan narkoba di Kota Pematangsiantar.
“Kami akan menyurati langsung Kapolri Jenderal Listio Sigit Prabowo untuk meminta penanganan serius terkait penegakan hukum terhadap studio 21 serta Amut sebagai pemilik dan penyedia tempat,” tutupnya. (S.Hadi Purba Tambak)






