PASURUAN, mediabrantas.id – Dalam dunia hukum perdata, salah satu hal yang sering menjadi perdebatan adalah apakah sebuah perjanjian tetap sah secara hukum meskipun tidak menggunakan materai. Masyarakat umum kerap kali menganggap bahwa perjanjian yang tidak dibubuhi materai dianggap tidak sah, padahal pada kenyataannya, materai tidak serta-merta menentukan keabsahan suatu perjanjian.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi empat syarat utama: adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian, adanya objek perjanjian yang jelas, dan adanya sebab yang halal. Dari keempat syarat tersebut, tidak satu pun yang menyebutkan bahwa materai menjadi bagian dari syarat sahnya sebuah perjanjian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara hukum, perjanjian tanpa materai tetap sah asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam KUHPerdata.Materai sebenarnya lebih berfungsi sebagai alat untuk pemungutan pajak, bukan sebagai penentu keabsahan.
Materai diperlukan untuk tujuan pembuktian di pengadilan. Dalam hal terjadi sengketa dan perjanjian tersebut dibawa ke meja hijau, dokumen yang dibubuhi materai akan memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat. Namun, tidak berarti bahwa perjanjian tanpa materai otomatis dianggap batal atau tidak sah. Perjanjian tanpa materai tetap dapat dijadikan alat bukti, tetapi harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain yang menguatkan.
Persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa materai adalah penentu sah tidaknya perjanjian adalah sebuah kesalahpahaman. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan hukum di kalangan masyarakat umum, serta seringnya pihak-pihak tertentu memanfaatkan ketidaktahuan ini untuk memberikan kesan bahwa perjanjian tanpa materai tidak valid.
Namun, meskipun materai tidak menjadi syarat sahnya perjanjian, penggunaannya tetap disarankan dalam praktik, terutama untuk menghindari potensi sengketa di kemudian hari. Perjanjian yang dibubuhi materai akan memberikan rasa aman bagi para pihak, karena kekuatan pembuktiannya di mata hukum lebih kuat. Sebagai penutup, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keabsahan perjanjian tidak bergantung pada ada atau tidaknya materai, melainkan pada terpenuhinya syarat-syarat yang diatur oleh hukum. Materai hanyalah alat bantu pembuktian yang berfungsi di pengadilan, bukan penentu sahnya suatu perjanjian. Edukasi tentang hal ini perlu ditingkatkan agar tidak ada lagi kesalahpahaman terkait peran materai dalam perjanjian.
* Penulis : Riska Putri Amelia, Mahasiswi Hukum aktif UMM