SAMPANG, mediabrantas.id – Setelah melalui dinamika panjang dan tekanan publik yang tak sedikit, akhirnya kabar menggembirakan datang dari pusat. Ketua DPRD Sampang, Rudi Kurniawan mengkonfirmasi, bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah memberikan restu bagi pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di tahun 2026.
Kabar tersebut disampaikan Rudi usai melakukan konsultasi langsung ke Kemendagri. Ia menyebut, restu itu bukan tanpa catatan. Pemerintah pusat menegaskan, bahwa Sampang harus benar-benar siap dari sisi administrasi, keamanan, dan anggaran sebelum Pilkades digelar.
“Pemerintah pusat menyetujui, asalkan semua prasyarat dipenuhi dengan baik. Jangan sampai Pilkades menjadi pemicu konflik baru,” ujar Rudi, Selasa (11/11).
Sinyal positif dari pusat ini datang setelah serangkaian aksi demonstrasi besar-besaran mengguncang Kabupaten Sampang. Ribuan massa turun ke jalan menuntut agar Pilkades dilaksanakan pada 2025. Namun, aksi yang semula berlangsung damai itu sempat berujung bentrok di beberapa titik, mencerminkan kekecewaan publik terhadap kebijakan penundaan.
Pemerintah daerah sebelumnya berdalih bahwa penundaan Pilkades dilakukan demi menjaga stabilitas keamanan dan karena keterbatasan anggaran daerah. Namun, alasan itu tak sepenuhnya diterima warga yang menilai pemerintah daerah abai terhadap hak demokrasi di tingkat desa.
Kini, restu pelaksanaan Pilkades di tahun 2026 menjadi babak baru bagi Sampang. Tantangannya bukan hanya pada penyusunan jadwal dan teknis pelaksanaan, tetapi juga pada bagaimana pemerintah daerah mampu memulihkan kepercayaan publik yang sempat terkoyak.
Rudi menegaskan, DPRD akan segera membahas kebutuhan anggaran Pilkades bersama pemerintah daerah dalam rapat Badan Anggaran (Banggar). Namun, ia mengingatkan bahwa kemampuan fiskal daerah tetap menjadi faktor krusial.
“Belum ada keputusan final antarfraksi soal besaran anggaran Pilkades 2026. Kita akan lihat seberapa besar kemampuan APBD untuk menanggungnya,” jelasnya.
Bagi masyarakat Sampang, Pilkades bukan sekadar memilih pemimpin desa baru. Ia menjadi cermin sejauh mana demokrasi di akar rumput berjalan dengan jujur, terbuka, dan bermartabat. Keterlambatan penyelenggaraan berpotensi memperpanjang masa jabatan pejabat sementara, yang sering kali menimbulkan gesekan sosial di tingkat lokal.
Restu dari Kemendagri bisa jadi titik terang, namun juga sekaligus ujian bagi pemerintah daerah: apakah mampu menjadikan Pilkades 2026 sebagai momentum rekonsiliasi sosial dan penguatan demokrasi desa, atau justru mengulang ketegangan lama dalam wajah baru.
Waktu dua tahun ke depan menjadi penentu. Bila kesiapan administratif, keamanan, dan anggaran tak matang, Pilkades 2026 bisa berubah dari pesta demokrasi menjadi bara yang membakar stabilitas desa.
Kini, publik menunggu langkah konkret pemerintah daerah untuk membuktikan bahwa restu dari pusat bukan sekadar kabar baik di atas kertas, melainkan awal dari komitmen nyata membangun demokrasi desa yang damai, tertib, dan bermartabat. (Hadi)






