Oleh : Reynanda Cindy Alifian
optimistv.co.id – Di era globalisasi saat ini membuat peluang besar untuk terbentuknya masyarakat pluralistik terutama dari segi agama dan etnis. Masa keterbukaan dan informasi serta komunikasi yang maju seperti sekarang ini, memungkinkan terjadinya mobilisasi penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain dengan berbagai alasan. Proses pembentukan masyarakat pluralistik seperti ini akan terus berlangsung pada era globalisasi, mengingat batas-batas wilayah atau negara tidak mmapu lagi mencegah terjadinya perpindahan penduduk dan menyebabkan tumbuhnya masyarakat plural diberbagai kawasan dunia. Keadaan yang plural hendaknya dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat positif.
Kemajemukan masyarakat dari segi etnis dan agama, sesungguhnya merupakan anugrah dan kehendak Tuhan. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menetapkan hukum-hukumnya, selain berupa doktrin agama juga berupa ketentuan yang berlaku pada alam dan manusia yang lazim disebut hukum alam (sunnatullah). Sebagaimana yang diajarkan oleh agama, manusia diciptakan dari yang satu (pasangan), nenek moyang manusia itu adalah seorang laki-laki (adam) dan seorang perempuan (hawa).
Lahirnya manusia yang banyak dalam berbagai etnis yang berbeda-beda sebagai pengaruh geografis di mana manusia lahir dan dibesarkan. Adanya perbedaan tersebut tida lantas menjadi ajang untuk saling bermusuhan satu sama lain melainkan lebih pendorong agar saling mengenal, bergandeng tangan, bersikap rukun serta saling membantu.
Bentuk toleransi dalam bergama bukan berarti hari ini bebas menganut agama tertentu dan besok hari menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya perturan yang mengikuti. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyainan agama masing-masing.
Beberapa landasan hukum beragama, dengan arti kata kebebasan bergama itu tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya rasa toleransi beragama. Hal itu perlu untuk dilaksanakan mengingat negara indonesia multi agama, sehingga jika toleransi beragama tidak ada maka otomatis beragama tidak ada maka otomatis terjadi pelanggaran terhadap HAM seseorang.
Dalam hal ini agar toleransi mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras dan bahasa. Kekuasaan dianggap sebagi faktor determinan dalam membangun toleransi. Jika negara sudah membuat peraturan yang menegaskan pentingnya toleransi dan kerukunan bagi sesama warga negara, semuanya dianggap taken of grated. Negara dianggap satu-satunya institusi yang bisa menyulap intoleransi menjadi toleransi.
Kerukunan antar umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan masyarakatdan bernegara.
Dalam mewujudkan harmonis antar umat beragama dengan cara sebagai berkut:
1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama.
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah. Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antarumat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Namun, akhir-akhir ini, keberagaman umat itu ternoda oleh konflik yang bernuansa agama. Bangunan harmonisasi dalam bingkai kerukunan umat beragama menjadi goyah. Bila tidak ditata kembali, berpotensi rubuh yang berujung pada disintegrasi bangsa. Untuk itu, pemerintah dan segenap elemen bangsa harus membangun kembali lembaran kerukunan yang terkoyak. Merajutnya dengan benang- benang keindonesiaan sehingga lahir kembali menjadi tenunan kebinekaan. Setidaknya ada beberapa langkah dalam membangun harmonisasi umat beragama.
Pertama, menumbuhkan kesadaran umat bahwa berbeda adalah keniscayaan dari Tuhan. Kita tidak bisa memilih lahir dari suku-suku tertentu, warna kulit atau yang lain. Bahkan kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan. Allah menyebutnya dalam Alquran Surat Ar-Rum ayat 22:
ومن ايت ٖه منا مكم با ّليل والنهاروابتغآؤكم من فضله ا ّن في ذلك ال يت لقو ٍم يسمعون
“Dan dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan seluruh langit dan bumi, dan perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda bagi mereka yang mengetahui”. (QS Ar-Rum [30]: 23)
Dari ayat Al Qur’an di atas dapat dijelaskan bahwa berbeda adalah karunia dan rahmat Allah yang patut disyukuri. Bila hal ini bisa dimaknai dengan baik, perbedaan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing.
Sebaliknya, menjadi lazim untuk dirangkul serta didekati sebagai wujud harmonisasi dalam keberagaman.
Kedua, meyakinkan masyarakat bahwa bentrokan dan kerusuhan hanya akan meninggalkan luka dan trauma mendalam. Tak satu pun daerah yang mengalami konflik dan bentrok akan sembuh dengan cepat secara psikologis. Ketakutan-ketakutan akan menghinggapi anggota masyarakat terutama perempuan dan anak-anak.
Ketiga, menghilangkan prejudice atau prasangka negatif terhadap orang yang berbeda dengan kita. Sebab prejudice menjadi bagian dari pemicu konflik sosial di masyarakat. Memandang kelompok lain yang berbeda dengan prasangka negatif hanya akan menimbulkan antipati terhadap kelompok tersebut. Sehingga memudahkan munculnya gesekan-gesekan yang akan memicu konflik.
Keempat, membangun toleransi dan komunikasi yang baik antara komunitas yang saling berbeda. Terkadang kesalahan informasi dan munculnya toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana yang diungkapkan P. Knitter berpotensi melahirkan konflik. Oleh karena itu, komunikasi dan toleransi aktif menjadi urgen dalam membangun sebuah komunitas yang plural. Sehingga potensi miskomunikasi dan informasi tidak mudah terjadi.
Kelima, menyelesaikan akumulasi permasalahan sosial, seperti, kemiskinan, pengangguran dan lain- lain. Sebab konflik bernuasa agama tidak semuanya berakar karena persoalan agama. Bahkan, salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi (1944-2017) mengungkapkan, 70 persen konflik keagamaan terjadi karena faktor nonagama yang diagamakan. Terkadang konflik lahir karena persoalan kegundahan sosial dan politik, kemudian berevolusi menjadi bongkahan kekecewaan. Mereka tidak menemukan solusi yang tepat dan menjadi pribadi atau kelompok yang teralienasi dalam menghadapi berbagai masalah sosial. Akibatnya, mudah tersulut emosi dan dipengaruhi pihak- pihak lain yang tidak bertanggungjawab sehingga terjadilah konflik sosial di masyarakat.
Keenam, menegakkan regulasi atau aturan tentang pendirian rumah ibadah dengan tegas dan adil. SKB tiga menteri sejatinya sudah baik bagi umat beragama sebagai panduan dalam mendirikan rumah ibadah. Namun, banyak pihak-pihak yang mengatasnamakan kebebasan beragama menerobos rambu- rambu yang telah disepakati bersama. Sehingga menggunakan berbagai cara untuk membangun rumah ibadah. Hasilnya, ada rumah ibadah yang sudah dibangun, tapi izinnya belum didapatkan. Hal inilah yang terkadang memicu konflik dan diperkuat dengan tidak tegasnya pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.
Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan di lingkungn masyarakat berbangsa dan bernegara.
Kebebasan untuk beragama di Indonesia adalah hak setiap individu selama kebebasan itu tidak merugikan orang lain. Manusia yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas berpikirnya yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dan lingkungan di mana dia berada.
Dari keadaan ini memunculkan berbagai ide, baik itu berupa gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan maupun sikap. yang kesemuanya itu tidak mungkin terpenuhi tanpa adanya sikap toleransi dari lingkungan dimana ia berada. Jadi, toleransi dan kebebasan adalah dua hal yang mesti ada dan saling berhubungan.
Pemahaman keagamaan adalah hal yang paling esensial demi terwujudnya masyarakat kondusif. Pada prinsipnya semua agama mengedepankan budaya toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari ketinggian kekuasaan Sang Khalik.
*Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ekonomi Syari’ah Kediri