Why Polisi ?

Oleh : Wildan Wahid Hasim

Mahasiswa Sosiologi Universitas Jember

optimistv.co.id – Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem ini diambil agar masyarakat bisa memberikan masukan, komentar, serta partisipasinya dalam semua agenda nasional termasuk bagaimana masyarakat diberikan ruang untuk membuat kritikan terhadap pelayanan negara dan lembaga negara.

Konteks inilah yang saat ini terhegemoni oleh kekuasaan yang secara biologis menjadi alat untuk meredam arus demokrasi. Masyarakat tidak memiliki taji dan takut, bahkan ketika berhadapan dengan elite politik yang menggunakan kekuatannya untuk meredam argumentasi kritis masyarakat. Penggunaan instansi seperti aparatur penegak hukum menjadi jalan alternatif untuk membungkam dan merepresi hak demokrasi masyarakat.

Untuk itu perlu adanya kajian kritis dan opini dari sisi lain untuk merefelksikan dan melawan hegemoni elite yang berkoalisi dengan aparatur negara. Sehingga instansi yang melambangkan jiwa korsa ini bisa sejalan dengan cita-cita bangsa yang demokratis dan berdikari.

Akhir-akhir ini banyak kejadian yang tidak menyenangkan di negara kita. Kejadian yang sangat menyayat hati masyarakat Indonesia dan sebenarnya bisa saja menurunkan tingkat kepercayaan publik akan instansi ini. Tentu saja, sebagai masyarakat umum yang memiliki segala kekurangan dan ketidakkuasaan hanya bisa merenung dan menikmati dialektika konyol yang tersaji oleh instansi negara ini. Instansi tersebut bernama POLRI. Sebuah institusi yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai pelindung masyarakat, pengayom masyarakat serta menjaga stabilitas dalam konteks kehidupan sosial. Namun tugas tersebut hanyalah isapan jempol belaka. Realitas hari ini, pihak kepolisian atau instansi kepolisian banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak karena ulah mereka yang dianggap tidak professional dan tidak berintegritas.

Dari awal pengangkatan Jendral Kepolisian Listyo Sigit Prabowo, banyak kasus kepolisian yang menyeruak. Tidak dapat dipastikan secara kongkrit apa yang melandasi perilaku Polri yang begitu menyayat ini. Kasus yang awal menyeruak yakni (1) ketika institusi Polri menggusur dan membantu pemerintah dalam mengamankan sengketa tanah di Desa Wadas. (2) Kasus penembakan Brigaadir Joshua oleh Ferdy Sambo yang notabene merupakan pejabat tinggi Polri. (3) Kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang dan menewaskan sediktinya 120 an korban jiwa. (4) Tertangkapnya Kapolda Jatim karena keterlibatannya dalam jaringan narkoba, bahkan dia ditangkap setelah beberapa hari menjabat secara resmi menjadi Kapolda.

Dari runtutan kejadi yang mencoreng nama institusi Polri mungkin dua peristiwa sangat menyita perhatian publik yakni penembakan Brigadir Joshua dan banalitas Polri dalam mengamankan jalannya pertandingan sepak bola di Kanjuruhan. Hingga pada tanggal 14 Oktober 2022 secara resmi Presiden Joko Widodo memanggil seluruh jajaran kepolisian di istana negara.

Baca Juga:  “Merajut Harmonisasi Antar Umat Beragama Sebagai Iktiar Menuju Kedamaian”

Presiden mengatakan bahwa institusi Polri harus bisa menjaga nama baik, menjaga persepsi masyarakat, dan jangan sampai Polri beserta seluruh anggotanya memiliki gaya hidup yang mewah. Peristiwa ini merupakan momen pertama kali dalam sejarah Polri, dimana seluruh pimpinan dipanggil oleh presiden dan mendapat instruksi langsung. Setidaknya inilah jalan yang sudah diambil oleh pemerintah dalam pemahaman dan penertiban akan perilaku yang kurang memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Jika meninjau kembali historisitas institusi Polri, sejak mereka berpisah dari kemiliteran pada tahun 1999, banyak sekali terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh institusi ini. Dari pemisahan inilah seharusnya terjadi demokratisasi di tubuh kepolisian yang selaras dengan konsep politik pemerintah Indonesia dengan melakukan supremasi sipil.

Tentu saja hal ini hanyalah impian di siang bolong. Kita bisa melihat bagaimana dalam kurun 20 tahun terakhir, institusi Polri justru membuat kekuasaan baru yang secara substansial meliputi unsur ekonomi dan politik. Mungkin sebagai masyarakat umum kita bisa menyebut sebagai kekuasaan kepolisian yang menikmati tingkatan impunitas yang belum pernah terjadi.

Tidak sampai disitu, institusi Polri juga memiliki kekuasaan dalam memenangkan kompetisi demokrasi di ruang publik. Institusi Polri sering dipandang sebagai kaki tangan para elite dalam kontestasi demokrasi sehingga kekuasaan yang dipertandingkan tidak lagi bernuansa demokrasi yang adil. Banyak anggota Polri yang kini menjabat sebagai elite di dalam sebuah organisasi, misalnya saja Ketua PSSI yang dijabat oleh anggota petinggi kepolisian, lalu Ketua KPK, dan yang paling menohok yakni posisi menteri dalam negeri yang diisi oleh mantan Jendral Polri.

Pertentangan dalam tubuh institusi Polri muncu dalam entitas stratifikasi sosial. setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi yang lebih tinggi. Hal ini merefleksikan bahwa konsep Webber dalam menganalisis stratifikasi sejalan dengan peristiwa di tubuh Polri yang mengumandangkan bahwa lembaga melaui relasi sosial ekonomi dan politik sebagai sebuah jalan menuju kekuasaan yang diinginkan.

Baca Juga:  Wujud Kepedulian Polri, Polres Pasuruan Bagikan Bansos dan Air Bersih Kepada Masyarakat Wonorejo dan Pasrepan

Yang menarik dalam konsep stratifikasi dan relasi sosial ini ialah adanya kekuasaan dalam praktiknya. Kekuasaan dalam tubuh Polri nampaknya menjadi senjata pamungkas dalam pergerakan posisi. Tidak mengherankan ketika terjadi rentetan peristiwa ini terjadi dominasi dan sirkulasi kekuasaan, artinya terjadi relasi sosial yang yang saling terhubung. Misalnya saja dalam kasus penembakan Brigadir Joshua terjadi pencopotan berbagai pihak yang terlibat.

Kasus ini juga merupakan kegagalan dari elite politik karena mereka tidak secara serius tertarik dengan adanya kepolisian yang berintegritas, demokratis dan akuntabel. Masih menjadi rahasia umum bahwa sistem kepolisian yang saat ini terjadi begitu kental dengan sistem patronase. Dalam kekuasaan politik ini hal yang terjadi ialah kita bisa mengatur bagaimana seorangb tokoh potensial digerakkan dalam koridor politik dan bisa saja dijatuhkan dalam dominasi kekuasaan politik. Dan dalam konsep ini Polri bisa menentukan bagaimana lanskap politik.

Disisi lain jika kita mengamati berbagai buku yang ada terkait dengan reformasi polisi bahwa saat elite sedang mencoba merubah atau mereformasi polisi yang terjadi ialah reformasi itu terjadi kepada elite itu sendiri, ini disebabkan bahwa posisi mereka sebagai elite lebih penting dibandingkan dengan pengaturan publik dan hukum.

Seperti misalnya di Rio de Janeiro, dan di Argentina, ketika pejabat elite berusaha untuk mereformasi kepolisian mereka selalu dihadapkan dan dibenturkan oleh protes oposisi dan sebagaian koalisi mereka ditangkap karena kasus korupsi. Jadi bisa disimpulkan bahwa kepolisian dalam hal ini memiliki sebuah relasi vertikal yang sangat simbiotik antara elite politik dan kepolisian.

Rentetan peristiwa selama tahun 2022 ini banyak yang memperkirakan bahwa Polri sedang menunjukkan dominasinya di dalam ruang publik.Tidak mengherankan jika institusi kepolisian sering menggunakan kekerasan sebagai simbol mengatas permasalahan yang terjadi. penggunaan kekerasan merupakjan jalan paling mudah dan murah dalam rangka penanganan masalah sosial.

Persepsi akan perintah “amankan” dari pimpinan seringkali diterjemahkan dengan tindakan represi demi mencapai stabilitas keamanan. Kontroversi muncul karena aparat di lapangan sering mengabaikan hak-hak konstitusional warga dan mengedepankan isu keamanan. Pola represif dalam penegakan hukum ini juga dapat dilihat dari data, bahwa institusi kepolisian menduduki peringkat lima besar dalam lembaga atau institusi yang sering diadukan ke Komnas HAM. Para korban seringkali mengadukan perihal lambannya penanganan kasus yang terjadi, upaya paksa dan kesewenang wenangan, tindakan kekerasan baik secara verbal dan fisik, kriminalisasi dan yang terakhir ialah penyiksaan.

Baca Juga:  Wali Kota Pimpin Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin Semeru 2021

Dari data yang dihimpun pada tahun 2015, banyak taruna Polri yang mengisi atau memilih penempatan di reserse dan kriminalitas (reskrim), diikuti penugasan lalu lintas (lantas), intelijen, dan yang terakhir samapta. Hampir tidak ada taruna yang memilih tugas pembinaan masyarakat (bimas). Dalam situasi ini terjadi sebuah paragidma bahwa formasi kepolisian masih diwarnai dengan pendekatan penanganan keamanan, bukan pemolisian atau pemolisian masyarakat.

Lalu bagaimana institusi Polri diperbaiki secara internal? Dan seberapa serius perbaikan ini dilakukan oleh institusi Polri? Perbaikian di sebuah institusi yang sudah lama berdiri dan sudah memiliki citra beraneka ragam dari masyarakat memang tergolong sangat sulit. Hal ini berkaitan dengan reformasi yang terjadi selalu dinahkodai oleh kekuasaan ekonomi dan politik. Ketika elite politik terbiasa mengakumulasi kekayaan maka pihak atau institusi kepolisian akan mengikuti.

Memang tidaklah adil ketika kepolisian dipandang sebagai institusi gagal, dan tidak memiliki reformasi yang positif di dalamnya. Akan tetapi reformasi ini hanyalah gerakan simbolik biasa yang terjadi dalam tubuh internal, ketika tidak mendapatkan dorongan dari pihak eskternal maka kekuatan reformasinya akan lemah. Kolaborasi antara pihak eksternal dan internal Polri harus berjalan sesuai dengan koridor yang ada, dimulai dari pembentukan kompetensi melalui kurikulum pendidikan terkait dengan penanganan massa yang sesuai dengan standar internasional dan kode etik, penyelesaian persoalan pribadi, pelatihan dalam menjaga hak asasi manusia.

Pihak eksternal seperti pemerintah dan Kompolnas harus segera membentuk kebijakan terkait dengan pemolisian sipil yang memiliki sense of humanity. Artinya aparat kepolisian harus menghormati harkat dan martabat manusia, anti penyiksaan, demokratis dan transparan, dengan mengutamakan tindakan pola preventif dan preemptif.

Tidak hanya itu, aparatur kepolisian juga harusnya mempunyai statistik terkait dengan jalannya tugas dan fungsi mereka sebagai pengayom masyarakat. Misalnya seperti berapa orang yang mereka amankan ketika kerusuhan terjadi, berapa orang yang mereka tembak ketika terjadi kekacauan dan mengancam, dan mungkin ketika membuat statistik seperti itu diharapkan reformasi yang terjadi kekuatannya akan besar. Sehingga hasil dari reformasi ini ialah keadaan dan kualitas kepolisian yang jauh lebih baik. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *