DPRD Sampang Kritik Program Smart Village, Dinilai Jalan Sendiri Tanpa Koordinasi

SAMPANG, mediabrantas.id – Program Smart Village yang digagas oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sampang kini menjadi sorotan publik. Alih-alih membawa semangat digitalisasi dan transparansi, pelaksanaan program ini justru memunculkan polemik serius. Komisi I DPRD Sampang, merasa “dipinggirkan” karena tidak pernah diajak bicara dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.

Dalam rapat dengar pendapat yang digelar Selasa (1/7), DPRD mempertanyakan dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan program yang disebut sebagai instruksi pusat. Namun, Kepala DPMD Sudarmanto hanya menjawab singkat, “Gak perlu persetujuan DPRD, yang penting digitalisasinya.” Jawaban tersebut justru menambah kebingungan. Tidak ada penjelasan resmi berupa surat edaran atau regulasi dari pusat yang dijadikan acuan hukum pelaksanaan program.

Yang lebih mengundang tanya, setiap desa diwajibkan mengalokasikan dana sebesar Rp20 juta dari Dana Desa (DD), yang dirinci Rp15 juta untuk pengadaan komputer dan Rp5 juta untuk aplikasi. Ironisnya, sejumlah kepala desa mengaku diarahkan untuk menggunakan jasa dua perusahaan, yakni PT Sahabat Digital Kreatif dan PT Digital Universal, yang diduga telah ditunjuk secara tidak terbuka.

Baca Juga:  Pemkab Mojokerto Akan Rampingkan Akses dan Peningkatan Efesiensi Layanan Publik dengan Pengembangan Super Apps

Menanggapi hal itu, Sudarmanto berdalih bahwa desa tetap memiliki kewenangan memilih penyedia lain asalkan sesuai standar teknis. Namun, ia menegaskan, bahwa desa yang tidak memenuhi standar tersebut tidak akan dilayani.

Ketua Komisi I DPRD Sampang, Moh. Salim, menyayangkan sikap DPMD yang terkesan menutup diri dan tidak melibatkan lembaga legislatif.

“Kami mitra kerja, punya fungsi pengawasan. Tapi saat ditanya, Kepala DPMD malah mengatakan belum ada penyedia resmi. Ini membingungkan,” katanya kepada awak media.

Salim menegaskan, bahwa keterlibatan DPRD bukan soal prosedur semata, melainkan bentuk kontrol agar anggaran publik digunakan sesuai prinsip akuntabilitas. Ia juga mengingatkan bahwa pengadaan barang/jasa harus tunduk pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Jika desa diarahkan secara halus kepada vendor tertentu, hal itu bisa tergolong pelanggaran.

Kritik semakin tajam ketika sejumlah pihak menilai bahwa program ini berpotensi menciptakan monopoli, bahkan konflik kepentingan. Program yang seharusnya mendukung kemajuan desa justru dikhawatirkan menjadi ajang proyek menguntungkan segelintir pihak.

Baca Juga:  GMPK Ngawi Giring Mahasiswa Melek Politik

Digitalisasi desa memang penting, namun tanpa transparansi, partisipasi, dan pengawasan yang memadai, program seperti Smart Village bisa berubah menjadi bumerang. DPRD Sampang kini didorong untuk memperketat pengawasan dan menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini. (Hadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *