Oleh : H. Masduki, S.P.dI
optimistv.co.id – DALAM Undang-Undang No. 18/2019 tentang Pesantren, dijelaskan bahwa selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah, pesantren juga memiliki fungsi sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Secara spesifik, pemberdayaan dalam hal penguatan kapasitas ekonomi warga.
Hal ini dibuktikan dengan kehadiran banyak sekali BMT (Baitul Mal wat Tamwil) atau unit usaha pesantren yang bersinergi dengan warga untuk menggerakkan perekonomian di arus lokal.
Artinya, pesantren sudah mengalami transformasi. Dari institusi pendidikan-keagamaan yang dianggap tradisional dan konservatif, menjadi lembaga sosial yang multifungsi. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara, pesantren ternyata terbukti mampu beradaptasi dengan dinamika zaman. Pesantren mampu menangkap semangat zaman yang banyak diwarnai dengan kovergensi peran dan fungsi kelembagaan. Serta tidak gagap dalam mengarungi era yang penuh disrupsi ini.
Hal tersebut tidak lepas dari salah satu kaidah ushul fiqh yang diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah An- Nahdliyah. Yaitu Al Mukhafadatu ‘alaqodimissholih wal jadidil ashlah (lakukan kebiasaan lama yang masih dianggap baik, namun lakukan juga sesuatu yang baru yang dianggap lebih baik). Itu adalah kredo: semacam manifesto dalam diri kaum santri untuk terus berdialektika dengan kemajuan zaman.
Sehingga salah besar kalau santri dan pesantren dipersepsikan jumud alias tidak mau mencerna progresifitas. Sepanjang kemajuan itu membawa kemaslahatan, pasti akan diserap oleh para santri. Bertitik pijak dari kaidah ushul fiqh tersebut, maka semangat dialektis sesungguhnya telah tertanam secara default dalam diri para santri.
Selain transformasi kelembagaan pesantren yang sudah semakin konvergen, salah satu contoh lain dari manifestasi semangat kemajuan para santri adalah respon santri-santri NU terhadap hadirnya media baru (the new media).
Menurut McQuail (2011), media baru (new media) adalah terminologi yang digunakan untuk mengklasifikasikan beragam perangkat teknologi komunikasi yang hadir lebih masif dan memiliki konektifitas lebih luas di tengah masyarakat.
Dalam sejarah, sebenarnya media baru sudah mulai digunakan di Amerika dan Eropa sejak 1960-an, namun baru masif beredar di seluruh dunia setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir. Penanda yang paling utama dari media baru adalah bersifat digital, serta memiliki karakter terbuka dan dapat diakses di mana-mana.
Dalam konteks ini, pengertian media baru sebagaimana dijelaskan McQuail merujuk pada teknologi internet dengan berbagai ekosistem digital yang berkembang di dalamnya. Misalnya WhatsApp, Instagram, Twitter, YouTube, Facebook, Tiktok, dan lain sebagainya.
Secara komparatif, hal itu berarti secara tidak langsung mengasosiasikan televisi, radio, koran, majalah dan sebagainya sebagai media lama (old media). Secara afektiftas dan efisiensi desiminasi pesan, media baru jauh lebih unggul dibandingkan media lama.
Santri dan Fenomena The New Media
Persepsi santri terhadap kehadiran media baru tidak serta merta selalu resisten. Para santri akan lebih dulu mengukur manfaat dan mudharat dari entitas baru tersebut. Para santri paham, bahwa media baru (sebagaimana juga old media) ibarat pedang bermata dua. Dia bisa digunakan untuk hal yang bermanfaat sekaligus bisa juga digunakan untuk hal yang bersifat destruktif. Karena itu di tengah maraknya aksi-aksi negatif di media baru (terutama media sosial), para santri menggelorakan pemanfaatan media baru untuk hal yang positif.
Sebagai contoh, banyak sekali kiai-kiai NU yang memanfaatkan media baru sebagai kanal dakwah. Di YouTube misalnya, banyak sekali akun yang menayangkan konten dakwah menarik KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), KH. Muwafiq (Gus Muwafiq), Gus Miftah, maupun KH. Anwar Zahid dengan ratusan ribu atau bahkan jutaan viewers, follower, dan like. Sedangkan KH. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), selain aktif di YouTube juga memiliki akun resmi di platform Instagram (@nadirsyahhosen_official) dengan ratusan ribu follower. Gus Nadir aktif di platform twitter (@na_dirs) dengan pengikut hampir setengah juta orang. Belakangan ini muncul pendakwah perempuanyang sedang “naik daun“ yaitu ustadzah Ning Umi Laila yang menghiasi timeline banyak lini masa media sosial.
Pun demikian halnya di ranah politik. Banyak sekali santri-santri yang berkiprah di politik dengan memanfaatkan kecanggihan dan efektifitas media baru (sosial media) sebagai alat komunikasinya. Misalnya, Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin), Capres dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut sangat aktif memanfaatkan berbagai platform the new media untuk berkomunikasi dengan rakyat.
Ringkasnya, di ranah sosial-keagamaan dan sosial-politik, santri sudah banyak yang menggunakan media baru sebagai sarana menyampaikan ide, gagasan dan instrumen komunikasi dengan khalayak. Santri masuk dalam jejaring komunikasi media baru untuk menciptakan jejaring makna positif lalu lintas informasi digital.
Tantangan Penguatan Ekonomi Santri di Era Media Baru
Tantangan yang harus dijawab santri dalam konteks penggunaan the new media adalah pemanfaatan media digital untuk penguatan kapasitas ekonomi.
Selama ini istilah pesantren dan ekonomi seolah menjadi dua hal yang kurang komplementer. Yang pertama merujuk pada hal yang bersifat pendidikan dan keagamaan, sedangkan yang kedua berkonotasi profit dan duniawi. Namun kenyataannya kedua hal tersebut dapat digabungkan. Buktinya, Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Pesantren Sidogiri membuktikan bahwa jika para pengurus dan pengelola pesantren mau serius mengembangkan unit usaha, bisa menciptakan jaringan perekonomian yang luas dan bermanfaat untuk pemberdayaan ekonomi warga. Indikasinya BMT Unit Usaha Gabungan (UGT) Sidogiri menjadi BMT terbesar di Indonesia menurut buku “100 Koperasi BesarIndonesia“ (Masrifah, 2020).
Pesantren memang memiliki potensi yang besar sebagai lembaga pemberdayaan ekonomi. Hasil pemetaan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada 2020 dan 2021 menemukan bahwa 90,48 persen dari pesantren sudah memiliki unit usaha. Artinya bahwa hanya sebagian kecil pesantren (9,52 persen) yang belum memiliki unit usaha. Bahkan sebanyak 2,58 persen pesantren memiliki 3-5 jenis usaha (https://www.kemenag.go.id/read/dari-pemetaan-hingga-profiling-100-pesantren-ekonomi-ggyyk). Namun dari sekian banyak potensi tersebut, belum semuanya dapat terakselerasi secara maksimal.
Salah satu sebab kenapa potensi ekonomi santri belum terkoversi maksimal adalah, karena selama ini model bisnis yang dikembangkan mayoritas pesantren belum memanfaatkan jejaring luas the new media. Mayoritas santri masih fokus memanfaatkan media baru untuk pengembangan pendidikan dan dakwah, namun masih sangat sedikit yang menggunakan the new media untuk pengembangan usaha-bisnis.
Coba kita simulasikan. Berdasarkan survei berbagai lembaga survei di Indoensia, jumlah santri (warga) NU di Indonesia mencapai 4o persen lebih atau sekitar 80 juta orang lebih. Kalau di antara jutaan orang tersebut secara ekonomi terkoneksi dalam platform digital yang sama, lalu mereka bisa saling follow, subscribe, like, dan share untuk penguatan basis perekonomian masing-masing, maka akan terbentuk jejaring kapital yang dahsyat dan mampu menjadi the new emerging market.
Tapi sayangnya, santri yang secara serius memanfaatkan sosial media untuk pengembangan bisnis masih belum kelihatan. Padahal banyak pelaku bisnis yang secara kreatif memanfaatkan media sosial, lini usahanya menjadi besar. Misalnya fenomena Inem Jogja yang berhasil menafaatkan platform Tiktok secara afiliated menjual produk-produk seller tanpa modal. Hanya modal endorse. Tapi pendapatannya bisa ratusan juta dalam sebulan.
Kemudian ada fenomena akun Tiktok Cici Chania dengan ikon kucing ‘pororo‘ yang viral. Seorang “seleb Tiktok” yang menjadi endosrser papan dan berpenghasilan per-bulannya mencapai ratusan juta rupiah atau bahkan miliaran rupiah sebulan. Belum lagi kalau kita membahas marketplace atau unicorn yang sudah mentereng. Apakah ada peran santri di situ? Apakah ada akun besar yang dikelola santri dan terkoneksi dengan jaringan pesantren?
Dalam konteks ini, di situlah pekerjaan rumah besar bagi kita semua para santri. Yakni untuk mengkonsolidasikan potensi besar ekonomi pesantren dalam jejaring luas the new media.
* Penulis adalah Anggota Fraksi PKB DPRD Jatim / Ketua DPC PKB Kota Mojokerto